Flu Spanyol: Dari Kesehatan Berujung Rusaknya Kedamaian
- historyagent
- Jul 7, 2020
- 2 min read
Oleh: Fakhri

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia membuat macet roda kehidupan masyarakat. Aktivitas pendidikan, pariwisata, dan yang paling fundamental yakni ekonomi terhambat karena pandemi yang mengguncang dunia.
Terhentinya kegiatan tersebut mengakibatkan timbulnya permasalahan sosial di masyarakat sebagai reaksi atas merebaknya virus COVID-19, seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Jauh sebelum COVID-19 melanda, pandemi flu spanyol yang terjadi pada tahun 1918-1921 turut menimbulkan permasalahan sosial di Hindia-Belanda. Wabah flu spanyol yang melanda Hindia-Belanda pada tahun 1918-1921 merupakan sebuah fenomena penting dalam sejarah kesehatan negeri ini.
Seputar Flu Spanyol di Hindia Belanda
Ganasnya wabah flu spanyol dapat terlihat dalam penelitian-penelitian terkait jumlah korban jiwa yang meninggal. Sejarawan Collin Brown dalam artikelnya The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia (1987) menuliskan bahwa 1,5 juta orang di Hindia-Belanda meninggal akibat flu spanyol.
Namun, penelitian terbaru pada tahun 2013 yang dilakukan Sidharta Chandra dalam artikelnya Mortality from the influenza pandemic of 1918–19 in Indonesia (2013) mengungkapkan bahwa flu spanyol telah merenggut nyawa 4 juta jiwa. Tapi Chandra hanya membatasi ruang lingkup penelitiannya di Jawa dan Madura.
Terlepas dari berapa banyak jumlah korban jiwa. Tingginya jumlah korban baik yang tertular maupun meninggal mengakibatkan timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi di Hindia-Belanda.
Dari Ladang Jadi Berang
Permasalahan yang timbul dan menjadi ancaman ialah bahaya kelaparan. Hal itu terjadi karena tidak adanya petani yang menanam sawah sehingga mengakibatkan kurangnya pasokan pangan di Hindia-Belanda. Selain itu pabrik-pabrik ditutup akibat banyak yang
“Flu spanyol telah menyebabkan mayoritas petani tidak dapat bekerja karena sakit dan akibatnya banyak sawah, ladang dan perkebunan yang terbengkalaian. Kegagalan panen pun terjadi di berbagai tempat. Harga bahan makanan melonjak dengan sangat signifikan” ujar Sejarawan Ravando Lie dalam tayangan Melawan Lupa di Metro TV.
Fenomena tersebut mengakibatkan timbulnya kekerasan, perampokan, penjarahan dan pembunuhan di beberapa daerah Hindia-Belanda. Salah satu contohnya terjadi di Kudus sekitar November 1918 antara etnis Tionghoa dengan penduduk lokal yang tensi konfliknya sudah tertanam sejak lama di daerah tersebut.
Kirsty Walker memaparkan konflik itu dalam artikel The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia (2014) bahwa kala itu terjadi bentrokan antara pemilik sebuah perusahaan rokok Cina dengan penduduk lokal setelah perusahaan tersebut mensponsori sebuah festival yang dimaksudkan untuk mengusir pandemi.
Akan tetapi, festival tersebut dianggap menghina Islam. Dampaknya lima puluh rumah dibakar, delapan orang Cina terbunuh, dan dua ribu orang melarikan diri ke Semarang.
Selain kerusuhan dan permasalahan sosial, akibat lain yang timbul akibat pandemi flu spanyol adalah meningkatnya pinjaman kredit ke lembaga keuangan di Hindia-Belanda oleh kalangan rumah tangga.
“Pada tingkat ekonomi rumah tangga itu jelas merupakan masa kecemasan yang mendalam bagi sebagian orang. meningkatnya penggunaan lembaga kredit seperti layanan Pegadaian Pemerintah dan bank gandum desa di Hindia Belanda menunjukkan dampak yang lebih “halus” dari flu di tingkat rumah tangga.” Tulis Kirsty Walker.
Comments