Oleh: Fakhri
Akibat pandemi COVID-19, kegiatan haji dibatasi termasuk dari Indonesia yang setiap tahunnya mendatangkan jumlah jemaah paling banyak. Ternyata dalam sejarahnya, pandemi yang menyebabkan terhambatnya ibadah haji sudah pernah terjadi sebelumnya
Pada 22 Juli 2020 kemarin berlangsung webinar Leiden Lecture Series yang mengusung tema “Pilgrimage in The Time of Pandemic” mengupas tentang kegiatan haji di masa silam yang turut terguncang akibat wabah.
Webinar yang diselenggarakan atas kerjasama antara Universitas Leiden dengan UIN Jakarta tersebut menghadiri dua narasumber, yaitu Prof. Oman Faturahman (Guru besar filologi UIN Jakarta) dan Yanwar Pribadi (Dosen UIN Banten).
Rekam Jejak Haji dan Pandemi
Presentasi pertama dalam webinar kali ini dimulai oleh Prof. Oman yang membicarakan haji dan pandemi dari sudut pandang sejarah. Dalam pemaparannya, Prof. Oman membuka manuskrip-manuskrip kuno yang berkaitan dengan wabah (Thaun) di Timur Tengah.
Salah satu manuskrip yang diperlihatkan Prof. Oman adalah manuskrip yang berasal dari abad 14 yang ditulis Al-Manzibi. Pada manuskrip tersebut dijelaskan bahwa penyebaran wabah mencapai titik tertingginya yang mengakibatkan ribuan orang meninggal ketika masa haji dan menurun ketika memasuki tahun baru Islam.
Menurut Prof. Oman merujuk pada salah satu sumber yang beliau paparkan, menyebutkan bahwa haji menjadi satu ritual yang berbahaya karena rute perjalanannya berpotensi turut menyebarkan wabah. Apalagi ditambah dibukanya Terusan Suez, rute haji semakin berbahaya.
“Sebetulnya, setiap ada rute dagang atau rute yang sifatnya jaringan perdagangan dan komersil disitulah berpotensi jadi jalur potensial penyebaran wabah”, ujar Prof. Oman.
Selanjutnya, Prof. Oman mengutip dari buku The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and The Holy Places mengutarakan bahwa sekitar tahun 1831 sampai 1912 terjadi penyebaran wabah berbahaya di tanah suci.
Prof. Oman menegaskan bahwa negara-negara asal jemaah haji yang beberapa kali terkena wabah, memiliki memori kolektif yang kuat sehingga bisa merespon pandemi lainnya dengan baik.
Haji dan Politisasi
Pemaparan selanjutnya dilanjutkan oleh Yanwar Pribadi yang berfokus kepada ibadah haji di Indonesia serta makna ibadah haji bagi masyarakat Indonesia. Ibadah haji di Indonesia dimulai pertama kali sekitar awal abad ke-12 akan tetapi sumber yang ada masih kurang jelas sehingga masih perlu digali lebih jauh.
Memasuki Masa Kolonial Hindia Belanda, ibadah haji memberikan keuntungan bagi pemerintah koloni lewat bidang pelayaran tetapi juga memunculkan masalah dari para jemaah yang kembali dari ibadah haji.
Dikhawatirkan sepulang dari haji, para jemaah haji tersebut akan mengobarkan semangat perang sabil (jihad) yang kala itu akhirnya menimbulkan Perang Padri (1803-1838) dan Perang Diponegoro (1825-1830)
Sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin memperketat ibadah haji sejak kedatangan orientalis Snouck Hurgrounje yang saat itu berpendapat bahwa berdasarkan pengalamannya, gerakan Pan-Islamisme yang kala itu sedang menyeruak, berfokus kepada jemaat haji yang tinggal lama di Mekkah.
Yanwar juga mengatakan Ibadah haji juga mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia ditandai dengan pemikiran Islam di Hindia Belanda sekitar abad 19-20 cenderung menolak bentuk Islam lokal serta meningkatnya peran kiai dan haji di bidang keagamaan di Hindia-Belanda.
コメント