Oleh: Dion
Awal Kehidupan
Oen Boen Ing lahir dari keluarga golongan pengusaha Tionghoa kaya di Salatiga pada 3 Maret 1903. Meski demikian sedari kecil, Oen memiliki cita-cita menjadi dokter karena melihat kakeknya yang bekerja sebagai Sinse (sebutan Tabib Tionghoa). Padahal saat itu rata-rata keturunan Tionghoa memilih meneruskan bisnis turun temurun keluarganya.
Selain itu, cita-cita Oen menjadi dokter bukan untuk mencari keuntungan tapi untuk menolong orang lain sebanyak-banyaknya. Sehingga ketika baru lulus Algemene Middelbare School (AMS) sekitar tahun 1922mendaftarkan diri ke sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia.
Selain itu Oen bergabung perhimpunan sekolah menengah Tionghoa bernama Chung Hsioh. Setelah tamat dan memperoleh gelar dokter dari STOVIA pada tahun 1932, Dr. Oen membuka praktek di Poliklinik Gie Sing Wan di Kediri. Setiap pasien yang datang beribat tidak dipungut biaya sepeser pun.
Selain karena keteguhan sikap Oen yang tanpa pamrih, yayasan pengelola poliklinik tempatnya bekerja yaitu HCTNH (Hua Chiao Tsien Ning Hui) juga mendukung tindakannya. Saat itu poliklinik dapat terus aktif berkat dana dari para anggota HCTNH dan donatur dari luar.
Karena kiprahnya yang tulus dan profesional kepada masyarakat, sekitar tahun 1944 Dr. Oen lalu dipercaya untuk mengabdi sebagai dokter pribadi Keraton Mangkunegaraan Surakarta.
Masa Perang Kemerdekaan
Ravando Lie dalam artikel jurnal berjudul Dr Oen Boen Ing Patriot doctor, social activist, and doctor of the poorr (2017), menuliskan peran Dr. Oen saat Perang kemerdekaan indonesia (1945-1949) di Surakarta. Saat itu itu, Dr. Oen banyak mengobati para pejuang dan pengungsi yang terluka tanpa pandang etnis dan kelas.
Selain itu Dr. Oen disebutkan nekat terjun langsung ke garis depan pertempuran untuk mengobati para pejuang yang terluka, hingga memasok secara diam-diam penisilin untuk Jenderal Sudirman yang saat itu tengah menderita penyakit TBC.
Sepak terjang Oen membuatnya dimata-matai Belanda karena kedekatannya dengan kaum Republikein. Hal ini dibuktikan dalam laporan NEFIS (Netherlands Indies Forces Intelligence Service) bertajuk “Doktoren te Soerakarta” pada tanggal 24 Desember 1948 tepatnya setelah pecahnya Agresi Militer Belanda Ke-2.
Dalam laporan tersebut nama Dr. Oen termasuk salah satu orang di Surakrta yang mendapatkan "pengawasan khusus". Laporan itu juga mendeskripsikan Dr. Oen sebagai salah satu dokter Republikein yang beroperasi di Surakarta selama Perang Kemerdekaan Indonesia berlangsung.
Akhir Riwayat
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia berakhir Dr. Oen pernah menjadi dokter untuk rode kruis (Palang Merah) dan juga pimpinan dari Rumah Sakit Jebres. Meski memiliki jabatan, sikapnya yang tanpa pamrih terhadap setiap golongan masih dipertahankan.
Bahkan Dr. Oen digambarkan sebagai figur yang “ontzettend populair bij alle bevolkingsgroepen” (sangat terkenal di seluruh lapisan masyarakat) dan “erg behulpzaam” (sangat penolong). Disebutkan Dr. Oen dapat menerima lebih dari 200 pasien dirumahnya dalam satu hari dan pasiennya tidak perlu membayar sepeser pun.
Kiprah Dr. Oen harus berakhir ketika ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 20 Oktober 1982 di Surakarta karena kondisi kesehatannya terus menurun sejak April tahun 1977. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya diadakanlah sebuah upacara khusus di Pura Mangkunegaran dan Mangkunegara VIII memimpin langsung upacara tersebut.
Jenazah Dr.Oen diusung oleh para abdi dalem menuju Krematorium Tiong Ting. Abu sang dokter kemudian dilarung di Sungai Bengawan Solo. Untuk mengapresiasi kiprahnya, sekitar tahun 1983 nama Rumah Sakit Panti Kosala namanya diganti menjadi Rumah Sakit Dr. Oen.
Comments