Dari Restorasi Berujung Agresi
- historyagent
- Jul 25, 2020
- 3 min read
Oleh: Dion

Restorasi Meiji menjadi salah satu titik perubahan bagi Jepang yang awalnya tertinggal dari bangsa lain akibat kebijakan menutup diri di era Keshogunan Tokugawa selama 200 tahun lebih, bisa modern secara instan. Tapi di satu sisi menjadi titik dimulainya baku hantam secara serius dengan tetangganya yaitu Tiongkok dan Korea.
Tetangga Diagresi Demi Industri
Salah satu hal yang tampak dari Restorasi Meiji adalah maraknya industri di Jepang. Dilansir dari Britannica Encyclopedia kawasan industri tersebut berada di sekitar Hokkaido, Tohoku, dan Selatan pulau Kyushu.
Sayangnya industri tersebut hanya membuat orang Jepang mendapatkan pekerjaan baru dan lebih banyak, tapi jumlah pendapatannya tidak jauh beda sebelum dilakukan restorasi. Sebab, saat itu para pemilik pabrik cukup menghabiskan biaya untuk bahan baku industri
seperti batu bara dan besi.

Selain untuk bahan bakar mesin industri, bahan baku batu bara juga dibutuhkan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik. Meratanya aliran listrik di perkotaan juga salah satu wujud dari restorasi yang dimulai sejak 1868 ini.
Dua bahan baku tersebut saat itu sangat langka di Jepang yang ternyata miskin sumber daya mineral, tetapi banyak ditemukan di wilayah Manchuria dan Korea yang saat itu di bawah pengaruh Kekasisaran Tiongkok Dinasti Qing.
J.Charles Schenking dalam tulisannya Making Waves: Politics, Propaganda, And The Emergence Of The Imperial Japanese Navy menyebutkan bahwa Jepang ingin sekali merebut pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut untuk memperoleh bahan baku tanpa harus mengeluarkan biaya banyak.
Beda Kekuatan Dua Negeri
Jepang saat itu memiliki militer nasional yang setia dan berada di bawah komando langsung Kaisar Jepang. Menurut Piotr Elender dalam buku berjudul Sino-Japanese Naval War 1894–1895 (2014), angkatan daratnya mencontoh Kekaisaran Prussia, dan angkatan lautnya mencontoh Inggris.
Meski dipengaruhi oleh asing, militer Jepang tetap menganut Bushido, kode etik kesatriaan yang salah satunya mengedepankan kesetiaan dan kehormatan sampai mati atau dengan kata lain militer Jepang siap bertempur sampai orang terakhir gugur dengan perlengkapan, strategi, dan hierarki modern demi kesetiaan pada Sang Kaisar.

Sementara Kekaisaran Tiongkok Dinasti Qing saat itu tidak memiliki militer yang bersatu. Masing-masing terbagi berdasarkan etnis seperti Han (Tionghoa), Manchu, Mongol, dan Hui (Tionghoa Islam).
Pasukan tersebut berada di bawah kendali para bangsawan yang memiliki kepentingan masing-masing, sehingga dalam hal disiplin dan kualitas persenjataan tidak sebaik militer Jepang. Hanya pasukan Beiyang yang kurang lebih bisa setara, tapi status mereka hanya
pasukan khusus dalam jumlah kecil.
Jalannya Perang
Perang yang mulai meletus pada 25 Juli 1894 diawali dengan terjadinya Pemberontakan Donghak di Korea pada 11 Januari 1894 hingga pembunuhan terhadap aktivis Korea yang pro-Jepang Kim Ok Gyun pada 28 Maret 1894.
Militer Jepang yang berjumlah 630.000 orang melawan militer Kekaisaran Tiongkok Dinasti Qing yang berjumlah 240.616 orang. Karena strategi dan kedisiplinan militerya, Jepang berhasil mengalahkan militer Kekaisaran Tiongkok Dinasti Qing di darat maupun laut.
Meski begitu, perang ini memakan korban tewas dari pihak Jepang berjumlah 35.000 orang dan dari pihak Tiongkok berjumlah 1.132 orang. Hingga akhirnya perang ini berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Shimonosheki secara terpaksa oleh Kekaisaran Tiongkok Dinasti Qing pada 17 April 1895.

Perjanjian tersebut membuat Tiongkok harus membayar kerugian perang sebesar 30 miliyar Tael kepada Jepang. Meskipun peperangan ini membuat Jepang berhasil merebut pengaruh Tiongkok tidak hanya Korea dan Manchuria tetapi juga seantero Asia Timur.
Tetapi, perjanjian tersebut tidak disenangi negara lain. Rusia, Jerman, dan Prancis mengintervensi perjanjian tersebut karena mereka tidak ingin hegemoni Tiongkok diganggu Jepang yang ingin mendirikan pos perdagangan dan kawasan industry.
Hasilnya perjanjian tersebut direvisi yang membawa hasil Dinasti Qing tidak perlu menyerahkan Semenanjung Liaodong yang saat itu disewakan kepada negara-negara Eropa untuk aktivitas perdagangan.
Comments