Oleh: Laila
Tuntutan Peran Perempuan dan Perkembangannya
Perempuan Indonesia selalu dituntut menjadi ibu dan istri yang baik. Kedudukan wanita ini amat dipengaruhi oleh adat, tradisi, agama (terutama agama Islam), dan dominasi dari pemikiran Barat di zaman kolonial yang memperkenalkan konsep rumah tangga inti atau nuclear family.
Akan tetapi, sebagaimana yang dituliskan oleh Arivia dan Subono dengan tulisan berjudul “A Hundred Years of Feminism in Indonesia An Analysis of Actors, Debates and Strategies” (2017), beberapa perempuan berhasil mematahkan tuntutan itu dengan berjuang bersama para pria dengan keberadaan tokoh seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Martha Christina Tiahahu.
Tidak kalah penting, beberapa tokoh perempuan Indonesia seperti R. A. Kartini, Maria W. Maramis, Rohana Kudus, dan Dewi Sartika mulai mengubah pemikiran ini dengan menekankan bahwa wanita juga pantas mendapatkan pendidikan layaknya laki-laki.
Di Masa Pergerakan, perempuan mulai keluar dari rumah tangga dan berpartisipasi di ruang publik dengan bersekolah. Seiring bertambahnya perempuan yang bersekolah, perempuan ikut berpartisipasi dalam organisasi-organisasi perjuangan di bagian kewanitaan.
Mulai Aisyiyah yang merupakan bagian dari Muhammadiyah dan organisasi wanita seperti Putri Mahardika yang berkaitan erat dengan Budi Utomo. Perempuan juga turut terlibat dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan membentuk Kongres Perempuan Indonesia pertama mulai dari tanggal 22-25 Desember 1928.
Lebih jauhnya lagi, wanita turut berpartisipasi dalam Resolusi Berparlemen Indonesia di tahun 1938 yang menuntut agar perempuan memiliki hak pilih dan dipilih. Namun meski sudah berpendidikan, perempuan tetap diharapkan berjuang dengan laki-laki dengan menjadi ibu dan istri yang baik bagi laki-laki, sementara laki-laki berjuang di bidang politik.
Pendidikan dipandang lebih berperan dalam membantu perempuan untuk melaksanakan tugasnya di ranah domestik dengan lebih baik. Namun, di masa pergerakan ini, perempuan mulai terdorong untuk menyuarakan kesetaraan dalam rumah tangga.
Hal ini vokal dilakukan oleh Nyi Sri Mangoensarkoro yang berpendapat bahwa laki-lakijuga harus terlibat di dalam rumah tangga serta Suwarsih Djojopoespito melalui novelnya dengan judul Manusia Bebas yang menggambarkan pasangan suami-istri berbagi peran dalam mengasuh anak serta membahas isu poligami.
Majalah Wanita sebagai Corong Wanita Indonesia
Dalam menyebarkan kesetaraan peran dalam rumah tangga, perempuan beralih kepada tulisan yang menjadi senjata mereka untuk menyuarakan pendapatnya. Hal ini dapat kita lihat dari R. A. Kartini yang menyerukan pendidikan melalui tulisannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Oleh karena itu, perempuan menggunakan majalah sebagai tempat menyuarakan kesetaraan ini. Akan tetapi, majalah dari Masa Kolonial dan sampai pada Masa Pasca-Kemerdekaan seringkali membahas bagaimana perempuan menjadi ibu dan istri yang baik bagi pria.
Selain itu, Ningrum dalam tulisannya yang berjudul “Wanita Bicara dalam Majalah Dunia Wanita: Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an” (2018) membagi majalah wanita menjadi dua, yaitu: majalah komersil dan non-komersil.
Majalah komersil ditujukan untuk masyarakat luas serta berfungsi memasarkan produk bagi para perempuan dan majalah non-komersil yang ditujukan bagi anggota organisasi kewanitaan dan turut membahas perkembangan organisasi.
Salah satu majalah yaitu majalah Dunia Wanita menjadi majalah yang berbeda di antara majalah lain dengan menghidupkan kembali isu-isu kesetaraan peran dalam rumah tangga melalui artikel, karikatur, dan tanya-jawab.
Majalah Dunia Wanita sendiri tidak terlepas dari peran Ani Idrus, pendiri majalah yang berpikiran maju dan amat mendukung kesetaraan bagi perempuan . Dunia Wanita berperan dalam menyebarkan isu kesetaraan peran dalam rumah tangga.
Lalu majalah tersebut juga vokal menekankan pentingnya peran perempuan dalam mengurus rumah dan mendidik anak, pentingnya pria untuk terlibat dalam rumah tangga, dan pentingnya komunikasi dan hubungan yang sehat antara suami dan istri.
Bahkan, majalah Dunia Wanita juga membahas isu yang dianggap tabu seperti poligami dan cerai. Mudahnya, majalah menjadi tempat bagi perempuan untuk menyuarakan kesetaraan tidak hanya di ruang publik, tetapi juga di dalam rumah tangga.
Comments