dr. Abdul Rivai: Dari Adat Menjadi Moderat
- historyagent
- Jul 6, 2020
- 3 min read
Oleh: Rizky dan Fakhri

Ratusan tahun yang lalu tepatnya dalam kurun waktu tahun 1900-an terdapat pergolakan di Hindia-Belanda, salah satunya ditandai dengan hadirnya kaum intelektual yang menumbuhkan semangat kebangsaan.
Sejak zaman kolonial, peran ini salah satunya melekat dalam diri para dokter bumiputera, yang biasa disebut dokter-dokter Hindia-Belanda. Melalui sekolah dokter STOVIA di Batavia dan NIAS di Surabaya mereka tak hanya "bermain" di ranah kesehatan, melainkan juga masuk ke ranah pergerakan kemerdekaan.
Dengan kata lain, mereka turut memberi sentuhan dan warna dalam proses penyebaran wawasan kebangsaaan. Mereka berjuang melawan dominasi kolonial melalui ilmu sains dan kedokteran yang mereka punya dengan memanfaatkan ilmunya untuk menaikkan derajat sebagai upaya membebaskan belenggu golongan bumiputera dari kolonialisme.
Sederet nama pun menghiasi tokoh pergerakan nasional yang lahir dari rahim sekolah kedokteran antara lain dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Soetomo, dan lainnya. Akan tetapi, terdapat satu nama yang tidak setenar tokoh lainnya, tokoh tersebut ialah dr. Abdul Rivai.
Profil Abdul Rivai
Dokter pertama lulusan Sekolah Dokter Djawa (Kemudian STOVIA) yang kemudian menerima pendidikan medis lanjutan di Belanda ini lahir di Agam, Sumatera Barat pada 13 Agustus 1871.
Secara beliau kental dengan adat Sumatera Barat. Akan tetapi, semua ciri khas budaya tersebut hilang ketika dirinya memasuki Sekolah Dokter Djawa (STOVIA). Rivai menjadi sangat modern dan ambisius.Tapi, dirinya harus menelan pil pahit realita yang ada.
Menurut Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019), menjadi siswa STOVIA membuat Rivai menjadi pemuda ambisius dan berpikir sangat modern. Tetapi kenyataan yang pahit bahwa pada saat itu sehebat apapun bumiputera mereka tetap dianggap rendahan meski lulusan sekolah terbaik.
Kenyataan tersebut berdampak pada kualifikasinya sebagai medis setelah lulus STOVIA yang dianggap rendah oleh orang Eropa. Sebab dirinya hanya mencapai posisi rendah dalam dunia kesehatan kolonial dan dengan gaji kurang dari setengah gaji temannya dari kalangan Eropa.
Kekecewaan Rivai membuat dirinya menjadi "radikal" sehingga merencanakan, bahkan mengharuskan, pembaratan (westernisasi) penduduk bumiputera di Hindia-Belanda. Rivai berpikir, untuk menikmati manfaat kehidupan modern mereka harus menjadi orang Belanda.
Rivai sangat yakin bahwa kekuatan transformatif sains, teknologi, dan ilmu kedokteran akan membawa kemakmuran dan kemajuan di Hindia-Belanda. Ketika elite intelektual bumiputera sudah mendapatkan perubahan, menurut Rivai akan sangat mudah untuk menggantikan beberapa tradisi dengan pendidikan modern.
Seluruh kekecewan yang kemudian menjadi gagasan tersebut Rivai wujudkan lewat tulisan-tulisannya berisi kritik serta opini yang dimuat melalui beberapa surat kabar di Hindia Belanda saat itu.
Melawan Lewat Pakaian
Setelah lulus menempuh pendidikan medisnya pada 1894, Rivai semakin memantapkan menjadi lebih modern dengan cara menyingkirkan pakaian tradisional Minangkabau dan menggantinya dengan kemeja, dasi hitam dan topi panama. Pakaian khas orang Eropa dan berpakaian seperti orang Belanda.

Tambah Hans Pole fotonya memproyeksikan sebuah bangsa masa depan yang mana status sosial seseorang ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan, dan prestasi pendidikan bukan oleh ras atau posisi seseorang dalam hierarki sosial tradisional.
Rivai kemudian melanjutkan studi kedokterannya di Utrecht, Belanda sekitar 1899 sambil aktif menulis kriitik lewat berbagai surat kabar di Hindia Belanda saat itu. Dikatakan beliau dapat bersekolah di sana setelah menantang seorang pejabat Belanda A.A. Fokker yang mengaku paling fasih berbahasa Melayu.
Jurnalisme Sebagai Jalan dan Gelar
Pandangan politik Rivai yang sangat progresif terlihat ketika ia menjadi jurnalis pada tahun 1900 di koran Pewarta Wolanda, surat kabar yang ia dirikan dan terbit sebagai surat kabrpertama berbahasa melayu yang diterbitkan dari luar negeri.
Pada koran tersebut, Rivai menulis panjang lebar mengenai pentingnya pendidikan untuk kaum bumiputera di Hindia (Indonesia). Karena sangat progresif, surat kabar tersebut akhirnya dibubarkan. Tetapi hal itu tidak menyurutkan langkahnya, Rivai kembali mendirikan Bintang Hindia Belanda pada tahun 1902 dengan kucuran dana dari Belanda.
Meski demikian, Rivai akhirnya keluar dari surat kabar yang didirikannya sendiri pada 1907 , lalu memutuskan keliling Eropa dan Amerika Serikat sambil menulis untuk beberapa surat kabar di Hindia Belanda.
Perjuangannya dan cita-citanya menjadi setara dengan orang Eropa terwujud sekitar tahun 1910, Rivai akhirnya memperoleh kewarganegaraan Belanda. Rivai adalah satu satu orang bumiputera paling "Eropa" pada masanya lewat visinya sangat jauh ke depan.
Memasuki 1911, Rivai kembali pulang ke Hindia Belanda dan sempat bergabung dengan Indische Partij, perkumpulan bumiputera dan Indo yang didirikan oleh E. F. E. Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan dr. Cipto Mangunkusumo pada 25 Desember 1912. Karena dianggap radikal dan berbahaya, Indische Partij dibubarkan Belanda sekitar 1913.
Beberapa bekas anggotanya kemudian mendirikan organisasi bernama Insulinde yang mana Rivai bergabung didalamnya serta sempat jadi wakil dari organisasi tersebut di Volksraad sekitar 1918, sambil menulis untuk surat kabar Bintang Timur.
Rivai menghembuskan nafas terakhir pada 16 Oktober 1937 di Bandung dengan status Eropanya yang melekat. Beliau lebih dikenal sebagai seorang jurnalis dibandingkan dokter melalui beragam tulisannya yang memperjuangkan hak-hak bumiputera saat itu, sehingga sekitar 1974 dianugerahi gelar sebagai Perintis Pers Indonesia.
Opmerkingen