Ki Hajar Dewantara: Pahlawan Pendidikan Indonesia
- historyagent
- Jul 12, 2020
- 4 min read
Oleh: Rizki

Hari ini diperingati sebagai terbitnya tulisan berjudul Als ik een Nederlander was atau Anadai Aku Seorang Belanda tepatnya dalam surat kabar De Express terbitan 13 Juli 1913. Tulisan yang dianggap kritik keras terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu, membuat
penulisnya Ki Hadjar Dewantara ditangkap lalu dibuang ke Pulau Bangka.
Lantas, mengapa demikian tokoh yang dikenal juga sebagai Pendiri Perguruan Tamansiswa, Bapak Pendidikan Nasional, dan Pahlawan Nasional ini menulis tulisan tersebut? Mari telusuri profil beliau
Kehidupan Awal
Beliau yang punya nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan merupakan putra dari Gusti Pangeran Haryo (GPH) Soerjaningrat atau cucu dari Penguasa Kadipaten Pakualaman pada saat itu yang bernama Sri Paku Alam III.
Sebagai keluarga bangsawan, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School) di Yogyakarta.
Setelah lulus, beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru (Kweekschool) Yogyakarta. Baru beberap waktu mengeyam penddikan di sana, beliau memperoleh tawaran masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen) atau Sekolah Dokter Jawa di Jakarta melalui jalur beasiswa untuk tahun 1905 sampai 1910.
Tidak Lulus Sekolah
Menurut Wiryopranoto, dkk dalam Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya, selama belajar di Sekolah Dokter Jawa, beliau sempat sakit selama 4 bulan yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara tidak naik kelas dan beasiswanya dihentikan.
Namun, alasan sesungguhnya pencabutan beasiswa tersebut adalah karena beliau melantunkan sajak mengenai perjuangan seorang panglima Perang Pangeran Diponegoro yang dipanggil Ali Basah Sentot Prawirodirdjo dengan sangat menjiwai dan patriotik.

Hal tersebut membuat Direktur STOVIA marah besar karena dituduh membangkitkan semangat revolusi di Pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya memanggil Ki Hadjar Dewantara untuk dicabut beasiswanya.
Setelah melihat ketidak-adilan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap bumiputera, Ki Hadjar Dewantara tidak memiliki penyesalan walaupun gagal menjadi dokter dan masih memiliki keinginan kuat untuk berjuang demi kesejahteraan golongan bumiputera.
Beliau juga dikenal atas kepiawaiannya berbahasa Belanda, bahkan mendapatkan semacam surat keterangan istimewa atas kepandaianya itu yang menjadi bekal penting bagi Ki Hadjar Dewantara untuk terjun ke bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan dalam meneruskan perjuangannya.
Berubah Haluan Menjadi Jurnalis dan Politikus
Setelah dikeluarkan dari STOVIA, Ki Hadjar Dewantara mengikuti organisasi Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Beliau aktif dalam organisasi tersebut dan diamanahi untuk mengurusi bagian propaganda.
Beliau juga aktif menjadi jurnalis pada berbagai surat kabar seperti Surat Kabar Sedyotomo dan Midden Java sekitar tahun 1911 serta Surat Kabar De Express sekitar tahun 1912. Beliau kerap membuat tulisan tentang sikap sosial-politik kaum bumiputera kepada pemerintah kolonial dan juga menggarap artikel yang menanamkan jiwa nasionalisme.

Ki Hadjar Dewantara juga terus menggeluti dunia politik hingga pada tanggal 6 September 1912, beliau masuk sebagai anggota Indische Partij yang merupakan partai politik pertama yang berani untuk menggaungkan tujuan Indonesia Merdeka secara publik.
Selanjutnya pada bulan Juli tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara bersama dengan dr. Cipto Mangunkusumo di Bandung mendirikan Komite Bumi Putera, yaitu panitia untuk memperingati 100 tahun Kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis.
Komite itu dibuat untuk memprotes kebijakan yang mengharuskan rakyat koloni Hindia Belanda untuk membiayai pesta perayaan kemerdekaan yang akan diadakan pada tanggal 15 November 1913.
Akibat protes tersebut Ki Hadjar Dewantara, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E Douwes Dekker dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda, selain karena artikel Ki Hadjar Dewantara yang membuat para pejabat kolonial merasa dikritik keras.
Pendiri Perguruan Tamansiswa
Setelah bebas dari penjara, Ki Hadjar Dewantara bersama dengan beberapa tokoh lainnya mendirikan semacam yayasan bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Sekolah yang saat itu setingkat taman kanak-kanak. yang bertujuan untuk memberikan kesemaptan pada bumiputera untuk mendapatkan hak-hak pendidikan sama halnya dengan orang Belanda atau bangsawan bumiputera.

Kemudian pada tanggal 7 Juli 1924 mendirikan Mulo Kweekschool yang setingkat dengan SMP. Selanjutnya pada tahun 1928, tamatan dari Mulo Kweekschool dapat masuk ke sekolah AMS (Algemene Middelbare School) atau setingkat dengan SMA.
Lahirnya Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat sambutan yang mendalam dari berbagai lapisan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, perguruan ini mulai banyak menjamur di pulau Jawa.
Kehidupan Selanjutnya Hingga Akhir
Sejak tanggal 3 Februari 1928, atau ketika berusia 40 tahun dan beliau berganti nama dari Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Nama tersebut memiliki makna tersirat yaitu Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.
Tamansiswa sebagai salah satu pendidikan yang didirkan oleh Ki Hadjar Dewantara telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan yang menanamkan jiwa kemerdekaan bagi masyarakat bumiputera dan digunakan juga sebagai fondasi sistem pendidikan nasional yang masih bisa kita rasakan hingga zaman sekarang.
Sebagai tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara terus memperjuangkan nasionalisme Indonesia melalui pendidikan, seperti melakukan penolakan dan resistensi terhadap undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordannantie 1932).

Undang-undang yang membatasi gerak nasioanalisme pendidikan Indonesia yang akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial. Berbagai macam perjuangan inilah yang membuat beliau dihormati dan diberi jabatan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia .
Ketika dibentuk kabinet pertama Republik Indonesia yaitu Kabinet Presidensial pada 19 Agustus 1945, beliau dipercaya memegang jabatan sebagai Menteri Pengajaran yang sekarang disebut sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekitar 1957 beliau sempat menerima gelar Doctor Honoris Causa dar UGM sekitar 1957 serta. Dua tahun setelahnya, beliau wafat tepatnya tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta. Pemerintah lalu menetapkan gelar Pahlawan Nasional pada beliau pada 28 November 1959.
Comments