Melacak Budaya Makan Lalapan Orang Sunda
- historyagent
- Apr 2, 2020
- 2 min read
Updated: May 11, 2020
Oleh: Fakhri

Orang Sunda dan budaya makan lalapan memang sudah melekat dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan terdapat guyonan bahwa apabila kita memiliki istri orang sunda maka akan sangat mudah memberi makan karena dedaunan pun ia makan. Artinya, budaya lalapan itu sudah meresap ke dalam jiwa orang sunda dan menjadi identitas kesundaan. Lantas, sejak kapan budaya makan lalap ini terbentuk?
Menurut Rahman dalam Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (2018), Jejak lalap dapat dibuktikan secara arkeologis pada Prasasti Panggumulan dari Sleman, Jawa Tengah yang berasal dari 902 M atau abad ke-10 M.
Pada prasasti tersebut terdapat beberapa kosakata yang menyebutkan bahan makanan dari sayuran bernama rumwah-rumwah (lalap mentah), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah yang diambil dari akarnya) dan tetis (sejenis sambal).
Penemuan tulisan bahan makanan pada Prasasti Panggumulan tersebut membuktikan bahwa lalap telah dikomsumsi pada abad ke-10 M. Artinya, bukti tertua dari jejak lalap dapat dilihat pada Prasasti Panggumulan.
Bahan makanan yang tercantum pada prasasti tersebut diperoleh dari tanaman yang tumbuh liar secara lokal pada perkarangan rumah, misalnya seperti timun, terong, wortel, dan kol

Meski sudah terdapat bukti arkeologisnya, bukti tertulis budaya makan lalapan masih terbilang buram. Hingga akhirnya penelitian lebih lanjut pada naskah Sunda, yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang berasal dari abad ke-16 M dapat memberikan cukup informasi mengenai lalap dan pembenaran atas bukti pada Prasasti Panggumulan.
Dalam naskah tersebut terdapat beberapa kalimat yang menunjukan bukti atas lalab, yaitu dengan kalimat ”kalingana asak deung atah” (sebenarnya hanya mentah dan masak).
Bukti pada Prasasti Panggumulan dan naskah sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian cukup memberitahukan bahwa sejak abad ke-10 terdapat kegemaran masyarakat menyantap lalap.
Akan tetapi, timbul satu pertanyaan lagi, Mengapa orang sunda gemar menyatap lalap?
Kegemaran orang sunda menyantap lalap terjadi karena suburnya potensi vegetasi dan masih jarang tradisi gembala.
Hal ini membuat tingginya komsumsi protein nabati daripada hewani dalam kebutuhan sehari-hari. Artinya, masyarakat saat itu tentu saja memanfaatkan vegetasi di sekitarnya untuk mereka makan karena yang melimpah pada saat itu hanyalah vegetasi.
Menurun Hingga Masa Kolonial
Seiring kedatangan orang-orang Eropa tentu saja berdampak kepada budaya makan masyarakat Pribumi khususnya di Jawa keseluruhan. Pada awalnya budaya makan yang cenderung mengkomsunsi protein nabati mengalami perubahan ke komsumsi protein hewani.
Hal ini terjadi karena orang Eropa kerap membuka hutan untuk perkebunan yang tidak hanya membawa tanaman baru tetapi turut memperkenalkan hewan pula, seperti sapi.
Namun, kecenderungan itu tidak menampak di kawasan Jawa bagian Barat. Dari amatan orang-orang Eropa, populasi ternak di Jawa Barat ternyata tercatat rendah.

Kondisi ini turut memengaruhi pada rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda. Di samping itu, kebijakan ekonomi pemerintah kolonial di Priangan yang cenderung terpusat pada tanaman komoditas (kopi dan teh) turut membentuk ekosistem pangan masyarakat Sunda yang tidak berorientasi pada pembudidayaan ternak.
Kondisi ini tidak disadari pada akhirnya membentuk kecenderungan citra budaya makan yang vegetaris di kalangan orang Sunda. Citra ini jelas bukan suatu hal yang natural, melainkan ada aspek politik dan ekonomi kolonial yang secara tidak langsung dan tidak disadari turut membentuk pula pola kultural dalam budaya makan Sunda.
Comments