top of page
historyagent

Mengenang dr Soetomo: Dokter Aktivis

Oleh: Dion

Monumen dr Soetomo di Nganjuk, Jawa Timur (Sumber: Heikaku)

Awal Kehidupan


dr Soetomo dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur pada 30 Juli 1888 dengan nama asli Subroto. Beliau merupakan putera pertama dari tujuh bersaudara pasangan Raden Suwaji dan Raden Ayu Sudarmi.


Sejak kecil beliau tinggal bersama kakek dan neneknya di Desa Ngempal, Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Suwadji, tidak tinggal bersama-sama dengan Subroto, karena sibuk bertugas di Maospati.


Memasuki usia ke-7 tahun, Subroto kecil harus berpisah dengan kakek dan neneknya karana harus tinggal bersama orang tuannya di Bojonegoro. Kesendiriannya inilah yang membuat Subroto selalu ingat akan kakek dan neneknya yang tetap bermukim di desa.


Setahun kemudian, pada tahun 1896 ia mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School di Kota Bangil, kota yang jauh dari desanya dan mengharuskan ia tinggal di rumah pamannya. Di rumah pamannya itulah namanya diganti menjadi Soetomo.


Setelah tamat di ELS, Soetomo meminta nasehat baik kepada ayahnya maupun kepada kakeknya. Kakeknya menghendaki agar kelak Soetomo menjadi seorang pegawai Pangreh Praja, yang saat ini merupakan profesi yang sangat tinggi dan terpandang di masyarakat.


Oleh karena itu, setelah menyelesaikan ELS-nya, kakeknya meminta agar Soetomo masuk OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Namun, bersebrangan dengan kakeknya, ayahnya menghendaki Soetomo melanjutkan pendidikan kedokteran di Batavia, yaitu STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen).


Menapaki Perjalanan Intelektual di Kampus Kedokteran


Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (1999), setelah menyelesaikan ELS-nya Soetomo akhirnya mendaftar masuk di STOVIA.


Pada 10 Januari 1903, Soetomo secara resmi diterima menjadi pelajar STOVIA. Dengan diterimannya di sekolah tersebut, berarti beliau harus meninggalkan kota dan keluargannya menuju Batavia. Pengalaman jauh dari keluarga maupun temann inilah yang menjadikan Soetomo remaja bermalas-malasan, suka melanggar peraturan dan berkelahi.


Setiap kali membuat keributan, direktur STOVIA selalu memberikan hukuman. Mamun hukuman yang diberikan pihak STOVIA tidak membuat Soetomo jera, bahkan beliau belajar secara serampangan dan tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, hal inilah yang membuat Soetomo tidak betah di asrama.


Dengan kondisi seperti ini mengakibatkan hasil evaluasi belajarnya tidak memuasakan bagi guru, direktur, maupun ayahnya. Karena telah kehabisan gagasan untuk menghukum Soetomo, Direktur STOVIA akhirnya mengirimkan surat kepada orangtuannya yang isinnya berupa ancaman bagi Soetomo.


Soetomo diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika tidak ada kemauan untuk memperbaiki hasil evaluasi belajarnya. Surat peringatan dari Direktur STOVIA menjadihkan ayahnya geram dan merasa prihatin, mengapa hal itu bisa terjadi.


Saat menerima surat peringatan dari Direktur STOVIA, ia mendapat surat dari ayahnya yang berisi kekecawan ayahnya terhadap Soetomo. Selepas membaca surat itu, hati kecil Soetomo tersentuh, kemudian ia berjanji untuk belajar lebih giat lagi.


Surat ayahnya itu menjadi titik balik bagi Soetomo untuk mengubah sikap dan perilakunya selama ini. Teman-teman seangkatannya melihat perubahan yang terjadi pada diri Soetomo. Kini setelah menerima surat dari ayahnya itu, waktunnya dihabiskan untuk membaca buku-buku referensi di perpustakaan dan mengejar ketertiinggalannya akan materi.


Namun pada 28 Juli 1907, Soetomo menerima telegram dan keluargannya yang sangat mengabarkan bahwa ayahnya, Raden Suwaji meninggal dunia. Telegram ini sangat menggoncangkan hati Soetomo, karena sebagai anak sulung, ia harus berkorban menggantikan peran ayahnya.


Keinginan tersebut mendapat tantangan tidak hanya dari keluarga, tetapi juga teman-teman dan guru-gurunya. Kebiasaan berkumpul dengan teman-temannya yang senang berpesta sebelum ayahnya meninggal kini Soetomo hindari.


Keputusan ini Soetomo ambil karena sadar benar akan pesan ayahnya itu. Perubahan perilaku dan pemikirannya terlihat dari raut mukanya sehari-hari yang selalu terlihat murung. Akibat dari kematian ayahnya itu pribadinya berubah. Kini Soetomo menjadi pribadi yang teratur, cermat ,dan penuh kehati-hatian.


Hal ini juga tampak dalam kegiatan diskusi bersama teman-teman dan gurunya. Soetomo juga sangat hemat dalam membelanjakan uang beasiswa yang diterimanya dari pemerintah Belanda. Uang tabungan yang dimilikinya digunakan untuk membantu teman-temannya yang membutuhkan.


Dengan alasan inilah akhirnya Soetomo dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi bendahara perkumpulan di kelasnya. Semua guru dan Direktur STOVIA melihat perubahan pribadinya itu. Akhirnya, pada 11 April 1911, Soetomo berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan memperoleh nilai bagus.


Mendirikan Budi Utomo dan Melanjutkan Studi di Negeri Belanda


Di STOVIA Soetomo bertemu dengan Wahidin Soedirohoesodo dan menyampaikan gagasannya bahwa perlu mendirikan suatu organisasi untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa pemuda dan pelajar ingin memajukan rakyatnya di segala bidang.


Guna merealisasikannya, Soetomo dibantu oleh teman sekelasnya Gunawan Mangkusumo. Dengan kepiawaiannya mengajak kakak kelas dan adik kelasnya, Soetomo mengumpulkan siswa-siswa STOVIA dan tepat pada 20 Mei 1908 organisasi tersebut resmi berdiri dan dinamai Boedi Oetomo.


Setelah lulus dari STOVIA sekitar 1911, bertahun-tahun kemudian sekitar November 1919, bersama istrinnya, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di negeri Belanda. Beliau terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Amsterdam.


Di kota inilah Soetomo menghabiskan waktunya bersama isterinya untuk menuntut ilmu. Di sela-sela waktu belajarnya, Soetomo tetap meluangkan waktu untuk tetap aktif dalam kegiatan pergerakan. Bersama-sama dengan pelajar Hindia Belanda lainnya Soetomo selalu berdiskusi dan berdebat tentang segala hal yang menyangkut kemajuan bangsannya.


Karena pandangannya yang luas itulah, Soetomo diajak teman-temannya sesama pelajar Hindia Belanda untuk bergabung dalam Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1921. Organisasi Indische Vereenifing dinilai sangat Eropa Sentris dan akhirnya Soetomo mengubah organisasi ini menjadi Perhimpunan Indonesia sekitar tahun1922.


Di tahun yang sama Soetomo juga mendirikan cabang Serikat Dokter Hindia Belanda di Amsterdam.


Kembali ke Tanah Air dan Menggeluti Perjalanan Pergerakan


dr. Soetomo kembali ke Tanah Air pada juni 1923, sekembalinya dari negeri Belanda, ia memperoleh tugas baru untuk bekerja di rumah sakit simpang di Surabaya. Selain bekerja sebagai dokter ia juga mendapat tugas tambahan yaitu menjadi pengajar di Sekolah Kedokteran di Surabaya NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School).

Selain menjalani profesi sebagai dokter tetap di rumah sakit, dosen di NIAS, dokter praktek di rumah, dr. Soetomo juga menghadiri rapat-rapat organisasi dan mengharuskan beliau dan istrinya tinggal di Kota Surabaya.


Dalam kesibukannya sebagai dokter, dosen dan motivator pergerakan pada masa itu dr. Soetomo merasa perlu belajar dari negeri lain tentang perjuangan bangsannya dalam membebaskan diri dari cengkraman penjajah.


Selain untuk belajar, dr. Soetomo juga akan meminta kawan-kawannya di luar negeri agar mendukung semua upaya yang beliau lakukan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lainnya.

Maka dr. Soetomo merencanakan untuk melakukan perjalalan ke beberapa negara untuk mendiskusikan dengan beberapa tokoh di luar negeri.


Perjalanannya dilakukan sekitar tahun 1936 dengan tujuan mempelajari berbagai budaya dan pengetahuan yang diharapkan dapat diterapak di Indonesia. Menurut rencana dr. Soetomo akan mengadakan perjalanan keliling Jepang, India, Mesir, Belanda, Inggris, Turki dan Palestina dan akan memakan waktu kira-kira satu tahun.


dr. Soetomo berpidato di pendopo Gedung Nasional sekaligus mengadakan petang perpisahan korps dokter bumiputera yang menyayati hati para hadirin sebelum keberangkatannya ke luar negeri.


Pada pukul 1 siang para pegawai harian Soeara Omoem menyelenggarakan makan siang bersama dengan dr. Soetomo yang menjabat sebagai direkturnya. Banyak diantara karyawannya itu yang meminta agar diizinkan untk mengantarkannya hingga pelabuhan.


Pada hari Sabtu, 21 Maret 1936, dr. Soetomo pergi menju dermaga genoam dimana kapal Jepang Nagoya Maru. Lebih dari seribu orang berkumpul di dermaga itu, untuk mengucapkan selamat jalan kepadannya.


Pada 28 Maret 1937 dr. Soetomo sudah sampai di Hindia-Belanda setelah perjalanannya keliling dunia banyak orang masih mengingat dengan baik bahkan beliau memerlukan beberapa waktu untuk bersalaman beberapa tokoh pergerakan yang menyambutnya.


Nafas Terakhir Soetomo


Akibat dari aktivitasnya yang sangat padat, menyebabkan kesehatan dr. Soetomo mulai terganggu. Pada tanggal 1 Maret 1938 dr. Soetomo dirawat di rumah sakit karena penyakitnya yang sudah kronis.


Setelah Opname di rumah sakit selama hampir dua bulan, pada 30 Mei 1938 pukul 16.30 dr. Soetomo menghembuskan nafasnya yang terakhir di Surabaya, Jawa Timur. Berita wafatnya dr. Soetomo menimbulkan reaksi spontan dari semua kalangan.


Beberapa koran secara khusus menurunkan artikel tentang jasa dan perjuangan dr. Soetomo. De Soematra Post menurunkan artikel khusus tentang beliau pada 31 Mei 1938 di halaman utama koran tersebut untuk mengiringi kepergian tokoh nasional itu.

58 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page