Oleh: Dion
Meskipun Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, Jepang masih bercokol di Indonesia dengan alasan menjaga status quo sampai Belanda kembali, sehingga terjadilah perlawanan rakyat terhadap Jepang di berbagai daerahkemerdekaan salah satunya terjadi peristiwa Penyerbuan Kotabaru di Yogyakarta.
Pemogokan Pegawai-Pegawai Indonesia, Awal Perlawanan
Dalam bukunnya A. Eryono yang berjudul Memoar Perjuangan Menegakan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (1945) menjelaskan pada 26 September 1945 peristiwa ini diawali oleh pemogokan massal di Yogyakarta.
Pemogokan secara serentak ini dilakukan oleh pegawai-pegawai Indonesia di perusahaan-perusahaan Jepang pada pukul 10.00, dan dengan baik-baik menuntut pimpinan kantor dan perusahaan Jepang untuk menyerahkan kekuasaan kepada pegawai Indonesia.
Penyerahaan tersebut umumnya berjalan lancar, meskipun sedikit berjalan dengan kekerasan. Gerakan tersebut berhasil menguasai kantor-kantor yang dipimpin oleh orang Jepang dan mengambil alih pabrik-pabrik serta perusahaan-perusahaan baik di dalam maupun di luar kota Yogyakarta.
Pabrik-pabrik dan perushaan-perusahaan yang sudah di ambil alih dan dilaporkan kepada KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) pada 26 September pukul 20.00 diantarannya adalah Nanyo Kohatsu, Jawatan Kehutanan, Daiken Sangyo, Pabrik-pabrrk gula Tanjung Tirta, Padokan, Beran, Cebongan,Gondanglipura, Plere, Gesikan, Rewulu, Medari, Pundong, Sewugalur, Salakan dan Nanpo Gingko.
Pengambilalihan Kekuasaan di Yogyakarta
Menuru P. J. Suwarno dalam buku berjudul Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 (1994) sejak 27 September 1945 kekuasaan pemerintahan di wilayah khusus Yogyakarta telah berada ditangan kedua Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan KNID Yogyakarta.
Bersamaan dengan tanggal tersebut wartawan Sinar Matahari menguasai Kantor Sinar Matahari yang disegel Jepang akhirnya digunakan untuk menerbitkan surat kabar baru bernama Kedaulatan Rakyat dibawah pimpinan Kepala Bagian Penerangan KNID, Purwokusumo yang pimpinannya dipegang olehh Bramono, Sumantoro, dan Samawi.
Suwarno juga menjelaskan aksi revolusioner yang menjurus ke pengambilahlian kekuasaan Jepang dengan kekutatan massa yang disetujui Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 27 September tersebut ternyata membuat orang-orang asing lain yang tinggal baik Tionghoa atau Arab maupun interniran Eropa di Yogyakarta gelisah.
Untuk menenangkan mereka dan menjaga agar gerakan ini tetap sasarannya, yaitu memindahkan kekuasaannya kekuasaan yang berada ditangan Jepang ke tangan bangsa Indonesia, maka KNID mengeluarkan pengumuman yang ditujukan kepada bangsa asing selain Jepang agar mereka tetap tenang dan keselamatannya akan dijamin.
Asal dengan sebuah syarat mereka tunduk pada segala peraturan pemerintahan Republik Indonesia (RI) yang bewenang di daerah tersebut dan merasa bahwa mereka berada di negara bangsa lain yang sudah merdeka.
Meskipun kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan Jepang sudah diambil alih. gerakan itu belum berhenti begitu saja, sebab Jepang masih utuh secara kekuatan militer. Para pemuda menghendaki militer Jepang menyerahkan kekuasaan atas fasilitasnya perlengkapan mauapun bangunan kepada baik Sultan maupun KNID.
Maka markas Osha Butai (Markas Batalyon) militer Jepang di Kotabaru (Dekat Stasiun Lempuyangan sekarang) diambil alih oleh AMPRI (Angkatan Muda Polisi Republik Indonesia) yang dipimpin oleh Sutaji. Seorang anggota PI (Polisi Istimewa) yang bergabung dengan Angkatan Muda Pathook dan bekerja sama dengan S. Parman.
AMPRI pun mengajukan ultimatum dan mendatangi markas Osha Butai agar menyerahkan semua material dan senjata karena dikatakan bahwa Kido Butai (Angkatan Darat Jepang) sudah menyerah. Osha Butai tidak dapat memeriksa kebenarannya, sebab kawat telepon milik Jepang sudah diputus.
Persiapan Penyerbuan
Penyerbuan Osha Butai di Kotabaru merupakan kelanjutan gerakan pengambilahlian kekuasaan yang sudah dimulai pada 26 September. Meskipun tidak ada kordinasi yang terang-terangan tetapi unsur-unsur pemuda seperti BKR (Badan Keamanan Rakyat), PI, rakyat, dan Sultan tetap kompak dalam bergerak.
Sultan Hamengkubuwono IX sebenarnya sudah mengeluarkan Maklumat No.I tentang badan sensur, yang secara formal bertujuan untuk mencegah timbulnya salah paham, kekacauan dan provokasi, sehingga usaha untuk menegakan RI tidak mendapatkan rintangan pada tanggal 5 Oktober 1945.
Gerakan pada tanggal 5 Oktober 1945 yang bertujuan untuk mengisolasi gedung-gedung yang diduduki Jepang dengan mengadakan pengawasan pembicaraan lewat telepon dan pemutusan kawat-kawat telepon yang dicurigai merupakan rintangan kemerdekaan RI.
Bersamaan dengan pengumuman Maklumat No. I, Barisan Penjagaan Umum yang merupakan inti Bagian keamanaan KNID, yang dipimpin S.Parman menduduki Tyookan Kantai.
Sesudah Tyookan Kantai (Pejabat Daerah) Yogyakarta Ishikawa dilucuti dan diusir dari gedung itu, KNID yang semula menempati gedung Kooti Kookokai di Jalan Ngabean No.4, pindah ke Gedung Tyookan Kantai, yang namanya diganti menjadi Gedung Nasional.
Sementara itu kelompok Pemuda Pathook, Jagalan P.A, Jetis Utara, dan Gowongan sudah mempersiapkan penyerbuan markas Osha Butai Kotabaru kalau penyerahan dengan jalan damai gagal.
Mereka membuat perencanaan menyeluruh, mulai dan mengubungi atasannya (Sudarsono, Umar Joy, Sultan) memutus kawat telepon dan listrik untuk mengisolasi markas tentara Jepang, menghentikan pergerakan kereta api dari maupun luar Yogyakarta, sampai pengerahan massa dari segala penjuru kota selesai.
Pada tanggal 6 Oktober sore Umar Slamet, selaku ketua BKR mendatangi Mantri Pangreh Praja Danurejan dan memberitahu bahwa dia akan melucuti senjata tentara Jepang di Kotabaru. Dia mengatakan sebelumnya akan mengadakan perundingan baik-baik.
Tetapi kalau tidak berhasil akan bertindak dengan kekerasan. Beliau meminta supaya rakyat menghubungi mantri pangreh praja lainnya dan mengusahakan angkutan untuk mengangkut rakyat yang akan mengepung markas tentara Jepang di Kotabaru.
Para mantri pangreh praja akhirnya mengerahkan rakyat lewat koordinasi dengan para ketua Rukun Kampung, setelah tekumpul rakyat yang ikut menyerbu kemudian diangkut dengan truk dari perusahaan Jepang yang sudah dikuasai oleh bangsa Indonesia.
Seperti yang dilakukan Mantri Pangreh Praja Danurejan menghubungi pabrik paku di Jalan Klitren Kidul yang meminta agar menyediakan truk untuk mengangkut para pemuda dan rakyat dari sekitar Danurejan, Umbulharjo dan Kotagede.
Pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin oleh Suharto dari wilayah Sentul yang kemudian dipindahkan ke benteng Vredeburg sudah siap menunggu perintah Setelah penjelasan mengenai kode-kode yang diperlukan, kelompok ini berangkat ke Kotabaru didampingi Sujono dengan berapa senjata api dan senjata tajam.
Jalannya Penyerbuan
Dalam bukunnya A. Eryono memaparkan bahwa penyerbuan dimulai pada 7 Oktober 1945 diawali dengan memutuskan aliran listrik pagar berduri sekitar markas Osha Butai dengan ledakan oleh granat pada pukul 04.00.
Setelah itu rakyat dan pemuda dengan persenjataan seadanya menyerbu dari segala penjuru ke markas Osha Butai, setelah satu persatu tentaranya gugur, komandan markas Butaicho Mayor Otsuka bersedia menyerah dengan syarat harus di hadapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Perlawanan ribuan pemuda dan rakyat terhadap tentara Jepang baru berakhir pada pukul 11.00 dengan menyerahya 360 Jepang dan mengentikan pertempurannya. Setelah pertempuran tersebut selesai 360 personel tentara Jepang ditangkap dan diserahkan kepada pasukan Polisi Istimewa untuk dikurung di penjara Wirogunan.
Di pihak Indonesia jumlah korban yang berjatuhan adalah 21 orang yang gugur dan 32 orang lainnya terluka sementara di pihak Jepang bejumlah 9 orang yang gugur dan 20 lainnya terluka.
Comments