top of page
historyagent

Militerisasi Sejarah Indonesia

Oleh: Zahra

Mendikbud Nugroho Notosusanto secara simbolik meresmikan Institut Seni Indonesia pada 30 Mei 1984 . Nugroho adalah aktor di balik militerisasi sejarah Indonesia (Sumber: Tribun Kaltim)

Selama Soeharto berkuasa, sejarah bisa dibilang dikontrol oleh pemerintah. Sejarah diharuskan menumbuhkembangkan nasionalisme kepada masyarakat dengan materi yang sudah ditetapkan.


Salah satu sosok propagandis terpenting pada masa itu yaitu Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang diangkat oleh Presiden Soeharto untuk mengawasi representasi masa lalu nasional di dalam Museum Sejarah Monumen Nasional.


Salah satu praktik dari pengontrolan terhadap sejarah bisa dilihat ketika pembangunan Museum Monumen Nasional pada sekitar tahun 1970-an. Kala itu, Nugroho Notosusanto secara massif menyebarluaskan kepahlawanan militer Indonesia melalui museum, doku-drama, dan buku-buku pelajaran, termasuk pada proyek Museum Monumen Nasional.


Monumen Nasional (Monas) merupakan proyek pertama kali diprakarsai oleh Presiden Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada saat terjadinya kudeta 1965, Priyono, Ketua Proyek Monas, sudah menyelesaikan deskripsi tertulis atas gambar dan diorama yang akan dipasang di Monas.


Tetapi, selama periode kerusuhan sesudah terjadinya kudeta, proyek museum ini terhenti. Tahun 1969, dimana rezim Soeharto sudah mapan, proyek museum ini kembali diperhatikan.

“Masa Lalu Nasional” Versi Orde Baru


Salah satu hal yang mencolok yaitu penentuan tema dari proyek Museum Monumen Nasional berdasarkan versi Nugroho Notosusanto dan panitia museum Monumen Nasional tentang masa lalu nasional.


Sebagaimana disajikan oleh adegan-adegan diorama didalam museum, penggambaran mengenai masa lalu Indonesia menekankan pada dominasi peran militer dan Pancasila. Hal ini sesuai dengan Intruksi Presiden Soeharto agar seluruh peragaan dalam museum harus mencakup beberapa hal.


Beberapa hal tersebut yakni: menambah peran militer di bidang politik, meninggalkan sosialisme sebagai tujuan nasional, melarang partai komunis, dan menghapus gelar-gelar Soekarno.


Keputusan ini juga hasil Seminar ABRI yang kedua tahun 1966 di Seskoad Bandung, dimana tempat militer menegaskan peran mereka dalam kepemimpinan nasional.

Letnan Jendral Ali Moertopo, salah seorang tokoh ideologi sentral Orde baru, menyatakan visi dan pandangan baru mengenai masa lalu memang digambarkan melalui museum ini

Potret Letjen Ali Moertopo saat menutup Festival Film Indonesia 1982. Ali Moertopo adalah tokoh Orde Baru yang mengusulkan agar visi-misi Orde Baru diindoktrinasikan kepada masyarakat di segala hal termasuk sejarah (Sumber: Departemen Penerangan Republik Indonesia 1983)

Ali Moertopo mengatakan bahwa Orde Baru merupakan pengingkaran terhadap Orde lama, sebuah renovasi yang mengikuti garis-garis dan pola-pola yang baru, khususnya pembaharuan nilai-nilai. Dengan kata lain, maksud dari pembaharuan nilai-nilai masa lalu adalah pembaharuan yang berbeda dengan apa yang diinterpretasikan oleh Orde Lama.


Itulah poin terpenting dibalik hadirnya representasi masa lalu yang didominasi peran militer melalui berbagai media, salah satunya yang paling massif adalah melalui peragaan di Museum Monumen Nasional.


Satu yang menjadi tantangan para panitia proyek museum masa Orde Baru adalah bahwa museum harus memperagakan sejarah Indonesia dan juga memproyeksikan peran militer yang semakin meningkat di masyarakat.


Penggambaran Didominasi Peran Militer


Salah satu bagian yang harus ada melalui peragaan masa lalu Indonesia dalam Museum Monumen Nasional adalah mengenai perlawanan melawan penjajah.


Panitia proyek museum Orde Baru memasukkan gambaran-gambaran pahlawan yang pada dasarnya sama dengan rancangan yang dibuat oleh panitia proyek museum masa Demokrasi Terpimpin.


Namun, titik yang membedakannya adalah pada panitia proyek Orde Baru mereka menekankan pada jasa-jasa militer pahlawan-pahlawan tersebut daripada posisi atau kedudukan mereka sebagai pahlawan perorangan yang telah melawan penjajah.


Katherine E. Mc Gregor dalam Ketika Sejarah Berseragam (2008) memberi contoh adegan yang dalam rancangan 1964 yang semula diberi judul “Pahlawan Diponegoro”, diubah menjadi “Perang Diponegoro”.Demikian kita melihat perbedaan mencolok, kata “pahlawan” diganti dengan kata “perang”.

Potret pengunjung tengah menyaksikan diorama sala satu pertempuran dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Museum Monumen Nasional. Tempat ini menjadi ladang bagi Orde Baru dalam menumbuhkan militerisasi sejarah (Sumber: Universitas Malahayati)

Hal yang sama juga terlihat dalam adegan mengenai Imam Bonjol dan Sisingamangaraja. Nugroho sebagai ketua panitia proyek Museum ini berusaha menggeser penekanan dalam adegan-adegan ini yaitu dengan menonjolkan tradisi kesatriaan/keprajuritan untuk membenarkan peran militer Orde Baru yang semakin meningkat dalam negeri.


Katherine juga menambahkan contoh lain, seperti adegan yang berjudul “Lahirnya Militer Indonesia”. Diorama ini menampilkan Jenderal Sudirman dan pasukannya di depan Candi Borobudur.


Alasan Nugroho memilih gambar ini dalam diorama tersebut ialah untuk menggabungkan candi yang kuno itu dengan militer Indonesia. Hal ini akan memberi kesan tradisi militer bangsa Indonesia juga setua candi tersebut.


56 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page