Oleh: Zahra Aulia
Nama Taman Siswa tidak asing terdengar di telinga kita. Namun, tidak banyak pula yang paham mengenai sejarah perjuangan taman siswa dalam menentang kebijakan Wilden Schoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah liar) yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Di buku-buku sejarah kerap disinggung perjuangan Taman Siswa dari sisi peranan Ki Hadjar Dewantara ataupun segenap jajaran Majelis Luhur Taman Siswa. Tetapi, ada yang luput dituliskan dalam buku-buku sejarah, yaitu peran anak-anak didik Taman Siswa yang sebenarnya berkontribusi dalam menentang kebijakan tersebut.
Sejarah Taman Siswa dan Munculnya Wilden Schoolen Ordonantie 1932
Lahirnya perguruan Taman Siswa tidak lepas dari hasil musyawarah “Sarasehan Slasa Kliwonan” yang dihadiri oleh beberapa tokoh terdiri dari tokoh-tokoh revolusioner Budi Utomo, Ki Ageng Suryomataram, dan Ki Hadjar Dewantara.
Musyawarah tersebut memutuskan kesepakatan bahwa Ki Hajar Dewantara diserahi tanggung jawab untuk bertugas di lingkup pendidikan anak-anak demi mendidik generasi yang nasionalis dan berjiwa merdeka.
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya Asas-Asas dan Dasar Taman Siswa (1964), Taman Siswa diciptakan Ki Hadjar Dewantara sebagai paguron atau tempat orang-orang maguru (belajar hidup).
Taman Siswa bukan semata-mata sekolah tempat pemberi pengetahuan intelektual saja, namun juga tempat belajar hidup dan wadah para penganut ajaran Taman Siswa mewujudkan pergaulan hidup sebagai satu keluarga yang erat bersatu.
Perguruan Taman Siswa juga bermaksud mengubah sistem pendidikan kolonial yaitu memerintah-memaksa-menghukum (rech – teuch – en orde), dengan sistem pendidikan yang bersifat nasionalis yaitu sistem Tripusat (lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah) serta sistem Among.
Dengan demikian kehadiran perguruan Taman Siswa disambut dukungan oleh semua pihak. Memperhatikan berkembangnya pendidikan nasional yang dipelopori oleh Taman Siswa menyebabkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Tindakan kewaspadaan pemerintah kolonial juga diarahkan kepada pergerakan sosial, terutama yang menitikberatkan dalam bidang pendidikan. Akhirnya, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan pengawasan terhadap sekolah-sekolah partikelir tak bersubsidi melalui Indisch Staatsblad 1932 No.136 mengenai “Wilden Schoolen Ordonantie” atau Undang-undang Sekolah Liar.
Regulasi yang berlaku mulai pada 1 Oktober 1932 tersebut memuat persyaratan beroperasinya sekolah partikelir yang meliputi: izin penyelenggaraan, izin mengajar, serta isi pendidikan/kurikulum. Intinya, bahwa sekolah yang tidak memakai kurikulum ajar serta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Belanda harus dihapuskan.
Penolakan dari Segala Sisi: Anak-Anak Taman Siswa Dalam Menentang Wilden Schoolen Ordonantie 1932
Adanya ordonansi tersebut mengekang gerak dan langkah Taman Siswa sebagai sekolah partikelir. Seluruh jajaran Taman Siswa melakukan perlawanan baik melalui Volksraad ataupun melalui pers.
Anak-anak Taman Siswa pun juga turut berpartisipasi melakukan perjuangan atas adanya Ordonansi tersebut. Menurut Sajoga dalam Riwayat Perjuangan Taman Siswa 30 Tahun 1922-1952 (1952), kontribusi anak-anak Taman Siswa terbagi menjadi 3 aspek, yaitu spiritual, ekonomi, dan politik.
Pada aspek politik, kala itu, didalam lingkup sekolah Taman Siswa, terdapat Organisasi Siswa Intra Sekolah bernama PPTS (Persatuan Pemuda Taman Siswa). Hal yang paling membedakan diantara Organisasi Siswa Intra sekolah partikelir lain adalah, pada PPTS ini tidak hanya remaja saja yang bergabung.
Saat itu, anak-anak Taman Muda (Sekolah Dasar) sudah banyak yang ikut bergabung dalam organisasi tersebut yang sebagian besar masih berumur sekitar 12 tahun. PPTS mengadakan sebuah diskusi-diskusi atau pada kala itu disebut dengan kongres.
Anak-anak didik yang sebagian besar berumur 12 tahun dan sebagian kecil sudah remaja sebagai pelopornya, mulai mendiskusikan bagaimana cara mereka dalam menentang adanya Wilden Schoolen Ordonantie.
Dipimpin ketua PPTS, para siswa Taman Siswa dengan penuh semangat mengikuti setiap kongres/diskusi dalam rangka usaha menentang Wilden Schoolen Ordonantie 1932.
Kongres berlangsung selama beberapa bulan, akhirnya mereka menghasilkan suatu kesepakatan perjuangan yang dibagi dalam perjuangan ekonomi dan spiritual.
Berdasarkan hasil kongres/diskusi anak-anak Taman Siswa yang tergabung dalam PPTS, mereka akhirnya melakukan puasa selama seratus hari berturut-turut dan berdoa kepada Allah SWT sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya kebijakan Wilden Schoolen Ordonantie yang menjadi penghalang Taman Siswa.
Ragam Aspek Perlawanan Murid Taman Siswa
Pelopor dari perjuangan mereka dalam aspek spiritual adalah Saudara Wali Alfatah. Saudara Wali Alfatah mengemukakan usulan-usulan dalam aspek spiritual yaitu dengan berpuasa selama seratus hari sebagai bentuk perjuangan batiniah terhadap kebijakan tersebut.
Saudara Wali Alfatah juga memimpin para adik-adiknya untuk melakukan ibadah secara rutin, mengaji, berdoa, dan berdzikir. Bahkan, seusai melakukan shalat Jumat mereka akan berkumpul di pendopo dan akan mengaji bersama.
Bahkan, karena pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara itu, para anak-anak terutama anak-anak di Taman Muda dan Taman Madya mulai memahami bahwa walaupun di umur belia mereka, beribadah kepada Allah merupakan suatu kewajiban. Hingga pada akhirnya mereka bisa mempunyai pikiran kritis untuk ikut berjuang bersama Ki Hadjar Dewantara dalam menolak kebijakan tersebut.
Di dalam suatu kelas dimana Ki Hadjar mengajar, beliau selalu menyampaikan pada anak-anak bahwa “Kita sekarang ini memang tidak merdeka secara lahiriah, tapi sampai kapanpun kita akan tetap merdeka secara batiniah”.
Maksud dari Ki Hadjar disini adalah seberapa banyak pengaruh kolonial kepada anak-anak bangsa Indonesia, mereka tetap harus memiliki jiwa yang merdeka, jiwa tunas bangsa Indonesia yang akan berjuang bagi negaranya sampai kapanpun.
Hingga ajaran tersebut masih melekat pada anak-anak didiknya, terutama siswa Taman Madya. Keesokan hari setelah anak-anak melakukan kongres, mereka mulai bertirakat tidak jajan selama seratus hari kedepan dan menabungkan uang sakunya yang perharinya hanya 5 sen.
Pelopor dari perjuangan anak-anak dalam aspek ekonomi adalah Saudara Sab. Saudara Sab pada waktu kongres mengajukan usulan-usulan kepada adik-adiknya yang sebagian besar berumur 12 tahun, jikalau perjuangan mereka dalam aspek ekonomi, akan menabung uang yang selanjutnya diserahkan pada pihak Majelis Luhur Taman Siswa setelah seratus hari terkumpul.
Maksud dari Saudara Sab tersebut adalah supaya pihak Majelis Luhur Taman Siswa dapat menggunakan uang tersebut untuk memperlancar aksi penolakan terhadap Wilden Schoolen Ordonantie 1932.
Seperti contohnya bisa digunakan untuk percetakan majalah yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara di dalamnya mengenai aksi penolakan terhadap kebijakan tersebut. Anak- anak didik Taman Siswa yang pada kala itu juga sedang berpuasa seratus hari, menunjukkan suatu keseriusan dan ketulusan dari perjuangan mereka.
Comments