top of page

Siasat Surabaya Hadapi Kembalinya Wabah Kolera

  • historyagent
  • Jun 12, 2020
  • 2 min read

Oleh: Azil

Kawasan Kali Mas, Surabaya sekitar 1890 (Sumber: Tropenmuseum

Sepanjang paruh kedua abad ke 19, Kota Surabaya tumbuh menjadi kota dagang dan industri yang utama di koloni dengan jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan kota itu dengan kota-kota besar di Asia, Eropa dan Amerika Utara.


Selain kerap disinggahi kapal dagang, kota pelabuhan di timur pulau Jawa ini juga kerap disinggahi oleh wabah-wabah berbahaya selah satunya Kolera. Sepanjang abad ke-19, kota Surabaya sendiri telah mengalami lima kali serangan wabah penyakit dengan tingkat kematian 40,6% di antara pasien Eropa dan 41% di antara pasien pribumi.


Jumlah kematian terbesar akibat kolera di kota ini disebutkan terjadi pada 1872 dengan jumlah korban mencapai sekitar 6000 jiwa atau mencapai hampir 10 persen dari total penduduk kota saat itu menurut tulisan G.H. von Faber yang berjudul Oud Soerabaja: De Geschiedenis van Indies Eerste Koopstad van de Oudste Tijden tot de Instelling van den Gemeenteraad (1906).


Air Jadi Salah Satu Sumber dan Solusinya

Potret John Snow (Sumber: Bio Fired)

Sejak John Snow di Inggris berhasil membuktikan bahwa penyebaran penyakit kolera di kota London pada pertengahan abad ke-19 berasal dari saluran air minum yang tidak sehat, maka perbaikan sistem sanitasi publik dan pengadaan air bersih yang layak minum dianggap sebagai metode yang efektif dalam mencegah perluasan wabah kolera.


Warga kota Surabaya (yang kebanyakan adalah golongan Eropa) mendesak malahan langsung memintah pemerintah Belanda di Amsterdam untuk segera menyelesaikan masalah air bersih di kota tersebut.


Hal ini disebabkan sikap tidak tanggap dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia menjadikan kekhawatiran warga kota terhadap wabah penyakit di lingkungan tempat tinggal mereka yang terus berkembang, sehingga berujung pada menjadi sentimen dan sikap antipati terhadap Pemerintah Kolonial saat itu.


Titik klimaksnya pada akhir April 1897, sebuah rencana baru warga kota Surabaya dalam mendesak perbaikan infrastruktur air bersih sebagai cara menangani wabah kolera dirumuskan.


Inisiatifnya digulirkan W.F. Schimmel, redaktur surat kabar De Soerabaja Courant, dan E. Fabius, pensiunan perwira angkatan darat Keduanya mengusulkan pertemuan warga kota Surabaya di Schouwburg, gedung teater di pusat kota, untuk menyusun sebuah petisi yang dikirim langsung ke Ratu Wilhelmina penguasa Belanda saat itu.

Wujud Gedung Schouwburg (Teater) di Surabaya, tahun tidak diketahui (Sumber: Sutrisno Budiharto)

Fabius berhasil meyakinkan warga kota untuk membubuhkan tanda tangan mereka dan mengirim petisi melalui telegram sore harinya (Soerabajasch Handelsblad, 5 Mei 1897). Sebagai cara membangkitkan perhatian publik, rancangan petisi terlebih dahulu diterbitkan di surat kabar yang terbit di Surabaya saat itu sebelum kemudian dikirim ke Ratu Belanda.


Berkat petisi dari 231 warga kota Surabaya tersebut, Sebuah komisi segera dibentuk dibawah pimpinan H.P.N Helrbertsma untuk membangun proyek penyaluran air bersih dari sumber mata air Kasri di wilayah perbukitan bagian selatan kota Surabaya, yang selesai dan diresmikan pada tahun 1903.


Peristiwa ini menjadi sebuah pijakan baru yang memberi kesempatan untuk menata ulang tatanan sosial, politik, dan budaya yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup warga di dalam standar kehidupan perkotaan modern di Surabaya lalu Hindia Belanda.


 
 
 

Commenti


  • Facebook - White Circle
  • Instagram - White Circle

© 2020 by History Agent Indonesia Member of Idea Publika Group

bottom of page