Pidana Penjara: Warisan Belanda dan Masalahnya
- historyagent
- Apr 26, 2020
- 2 min read
Updated: May 11, 2020
Oleh: Muhammad Dzauhar Azani

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kembali bikin gaduh masyarakat, bukan karena kerusuhan, tapi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli ngeluarin kebijakan supaya 38 ribu napi di seluruh Indonesia dibebasin biar gak kena wabah COVID-19.
Taunya menurut Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono dilansir dari Okezone, ada 39 napi yang belum bisa move on atau masih ngelakuin kejahatan. Motifnya dari mulai sakit hati, narkoba, sampe kesulitan ekonomi.
Kejadian ini gak cuma jadi modal kritik buat kebijakannya pak Yasonna, tapi juga bukti nyata gak efektifnya pidana penjara di Indonesia yang udah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda.
Dari Tempat Menyiksa Menjadi Tempat Membina

Pidana penjara sebagai hukuman bagi para pelaku kejahatan dimulai sekitar abad ke-19 lewat pasal 10 dalam Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang dikeluarkan pada 1872.
Awalnya para penjahat yang jadi napi dikurung sambil disiksa biar jera, tapi setelah keluarnya Gestichten-Reglement (Peraturan Penjara) tahun 1917 para napi tidak lagi disiksa tapi diharuskan bekerja untuk keperluan pendapatan negara. Menariknya, setiap tahanan berhak dapet upah yang bisa dipake kalo udah bebas nantinya.
Undang-undang ini mungkin menginspirasi Menteri Kehakiman RI Dr. Saharjo yang pada 1962 mengganti penjara dengan istilah Lapas, tidak hanya dibekali kemampuan lewat pekerjaan di ruang kerja penjara, para napi juga dibekali pembinaan secara rohani menurut agama yang mereka anut.
Kritik Datang Juga Walau Ganti Nama

Meski demikian, Lapas jadi sasaran kritik bagi Prof. Dr. Hazairin Harahap. Lewat artikelnya yang berjudul Negara Tanpa Penjara (1981), pakar hukum adat asal Bukittinggi ini berpendapat pidana bukan solusi untuk menegakan hukum malah jadi masalah akut bagi sebuah negara.
Malahan menurut pria yang pernah jadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) ini, penjara seakan jadi tempat bagi penjahat buat nikmatin kepuasan habis berlaku kriminal sekaligus ngehindarin amukan orang sementara waktu.
Pernyataan itu ada alasannya menurut Hazairin karena ada dampak negatif dari pidana penjara tersebut. Bagi tahanannya mereka dikhawatirkan belajar ilmu kejahatan baru dari penjahat lain di penjara, dan kemungkinan besar dipraktekin setelah keluar. Makanya Hazairin menyebut penjara sebagai Sekolah Kejahatan.
Bagi negara mengurus penjara akan menghabiskan pendapatan, dari mulai perawatan bangunan, ngegaji sipir, hingga kebutuhan tahanan terutama buat yang dihukum seumur hidup.
Di satu sisi Hazairin juga menyarankan agar negara kembali ke hukum tradisional dan hukum Islam yang menurutnya selain bikin efek jera sekaligus membuat negara bisa menang melawan kejahatan yang ada.
Comments