Oleh: Zahra
Tjilik Riwut merupakan salah satu tokoh penting dari Kalimantan Tengah yang lahir di Katunen, Kasongan, Kalimantan Tengah pada 2 Februari 1918. Selain dikenal sebagai gubernur kedua Kalimantan Tengah, jasanya begitu besar karena beliau telah membangun dan menyatukan Kalimantan Tengah menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut memimpin tujuh pemuda Dayak Kalimantan melakukan sumpah setia pada Republik Indonesia di hadapan Soekarno Hatta.
Menilik Jejak Pendidikan Tjilik Riwut
Dalam buku biografi Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut (2006) yang ditulis oleh P.M Laksono, Tjilik Riwut memiliki kepribadian yang unik dan sederhana. Pada tahun 1930-an, saat usia menginjak 12 tahun dan baru saja menempuh pendidikan di SR (Sekolah Rakyat), beliau sering pergi ke Bukit Batu.
Bahkan, ketika beliau sedang bermain dengan teman-teman sebayanya, beliau kerap meninggalkan mereka dan bergegas pergi ke Bukit Batu untuk balampah. Balampah kerap dikenal dengan istilah lelaku, di Jawa. Bagi Tjilik Riwut, balampah adalah upaya untuk mencari ilmu.
Arti dari balampah itu sendiri merujuk pada makna berkelana untuk menambah wawasan. Di bukit batu itulah Tjilik Riwut “menjalani” hidupnya. Dari segi religi masyarakat setempat, balampah dilakukan agar mendapatkan wangsit.
Hingga pada akhirnya, beliau sekitar tahun 1936 merantau ke Jawa untuk mengikuti kursus Perawat di Banyu Asih, Purwakarta. Jawa menjadi angan-angan Tjilik untuk mencari kepandaian dan kemajuan, bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat yang beliau perjuangkan.
Saat menginjak usia 18 tahun, Tjilik Riwut dikirim Zending untuk bersekolah perawat di Banyu Asih, Purwakarta, Jawa Barat. Selain menghabiskan waktu untuk belajar keperawatan didalam kelas, beliau juga memutuskan diri untuk membantu mengantar Koran sebagai pekerjaan sambilan.
Dari sanalah Tjilik Riwut mulai bersentuhan dengan dunia jurnalistik, bahkan sempat belajar dari Sanusi Pane dan M. Tabrani. Secara formal, Pendidikan Tjilik Riwut tidak tergolong tinggi, tetapi kemauan belajarnya sangat tinggi. Bahkan, dalam catatan hariannya, Tjilik Riwut menulis beberapa tokoh yang dijadikanyan guru.
Beberapa diantaranya adalah, Dr, Hans Scharer, seorang pendeta Belanda yang tinggal bersama Suku Dayak Ngaju, Pendeta De Vries, dan Damang Jimat.
Tjilik Riwut dalam Arus Perjuangan
Tjilik Riwut kemudian beralih menjadi pejuang yang berasal dari Kalimantan dan menjadi komandan M.N. 1001. Beliau juga dipercaya menjadi pimpinan pasukan terjun payung. Tanpa pendidikan militer, Tjilik Riwut bersama beberapa pemuda lainnya melakukan penerjunan untuk melawan Belanda.
Saat pendudukan Jepang, beliau bekerja menjadi anggota peneliti sebagai asisten seorang Profesor Jepang. Dengan begitu, beliau dapat menggunakan kesempatan untuk menjelajah ke daerah-daerah dan menyampaikan pesan perjuangan kepada orang-orang Dayak. Setelah proklamasi 1945, NICA, masih menguasai banyak wilayah di Kalimantan.
Pada kala itu, Kalimantan masih bernama Borneo dan dipimpin oleh Ir. Pangeran Mohammad Noor dan berkedudukan di Yogyakarta. Dari situlah seluruh strategi perebutan Kalimantan dilakukan dnegan ekspedisi. Untuk Kalimantan Tengah, dilakukan pembentukan pemerintahan sipil dan pembentukan pasukan perlawanan.
Tjilik Riwut memiliki peran besar terhadap misi tersebut. Dalam proses perjuangan, pasukan M.N. 1001 dikembangkan di banyak desa di Kalimantan dan merekrut pemuda setempat. Tjilik Riwut berperan besar dalam pasukan M.N 1001.
Memperjuangkan Masyarakat Dayak Lewat Tulisan
Dinamika kehidupan suku Dayak di Kalimantan pada masa Kolonial cukup membawa pengaruh yang sangat besar bagi warganya, termasuk Tjilik Riwut. Kondisi itu selalu membuat Tjilik Riwut gelisah akan nasib sukunya.
Selain berjuang dalam peperangan, Tjilik Riwut juga berjuang melalui tulisan. Keikutsertaan Tjilik Riwut untuk bergabung dalam Pakat Dajak dan terlibat aktif dalam propaganda melalui tulisan didorong keprihatinannya atas nasib masyarakat Dayak.
Hal ini tercermin dalam tulisannya yang dimuat dalam Soeara Pakat, yaitu Kamiar Oetoes Itah Dajak Hang 100 Njelo atau Kemajuan Suku Dayak dalam 100 Tahun. Melalui tulisan-tulisannya, Tjilik Riwut berusaha mengajak Suku Dayak bangkit dari ketertinggalannya, melalui pendidikan modern.
Sementara itu, Tjilik Riwut juga menulis sebuah tulisan berjudul Berdjoeanglah Goena Bangsa dan Madjoelah yang dimuat dalam suara Pakat, penggalan artikel tersebut adalah:
“Maka yang menjadi sebabnya bangsa kita Dayak ada terbelakang dalam kalangan Onderwijs (penagajaran) ialah: Karena sekolah amat kurang, karena kekurangan ongkos, karena dilarang orag-orang tua anaknja pergi jauh”.
Dari tulisan itulah Tjilik Riwut berusaha mengungkapkan dan menyadarkan kepada masyarakat hambatan dan halangan dari suku Dayak, terutama dalam hal pendidikan. Perhatian Tjilik Riwut atas nasib sukunya teramat besar, hal ini tercermin selama beliau tergabung dalam seksi Propaganda Pakat Dajak, melaui tulisan-tulisannya.
Beliau secara giat dan aktif menggugah keadaran masyarakat Dayak akan pentingnya pendidikan untuk menjadi bangsa yang maju. Hal menarik dalam salah satu tulisan Tjilik Riwut dalam Soeara Pakat mengenai pendidikan tinggi atau kepintaran itu harus disertai dengan budi pekerti.
Selain aktif menjadi jurnalis Soeara Pakat, beliau juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan pimpinan Sanusi Pane dan Harian Pemandangan. Tjilik Riwut juga pernah menjadi redaktur majalah Kasih Sayang dan Asi Hai.
Berawal dari ketertarikannya terhadap dunia jurnalistik tersebut, buah pemikiran Tjilik Riwut mulai dikenal masyarakat Dayak, baik yang sudah diterbitkan maupun belum.
Perjuangannya harus usai pada 17 Agustus 1987, yang bertepatan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tjilik Riwut meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan karena menderita penyakit liver/hepatitis dalam usia 69 Tahun.
Beliau dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara dan jalan utama di Palangkaraya.
Comments